Revolusi industri & teknologi saat ini membuat dunia berlari begitu cepat. Banyak hal yang telah lama mapan tiba-tiba menjadi tak lagi relevan lalu ditinggalkan. Kemudahan akibat majunya teknologi membuat pekerjaan manusia sangat terbantu di satu sisi, namun di sisi lain banyak hal jadi kehilangan arti.
Perkembangan Artificial Intelligence (AI) yang mengesankan dalam olah data dan dapat menyajikan analisis akurat nyaris dalam segala hal mengancam status quo banyak profesi yang dulu dianggap sulit dan penting. Jika dulu orang perlu berpikir lama untuk menganalisis dan menulis gagasan dengan baik, kini orang tinggal memerintahkan AI untuk menganalisis dan mendeskripsikan apapun yang dikehendakinya, lalu muncullah hasil analisis yang akurat, tertuang dalam tulisan yang sangat baik, dan itu dilakukan dalam tempo yang sangat singkat.
Itu salah satu contoh tentang kemudahan-kemudahan yang bisa didapat dengan kehadiran teknologi. Jika fenomena ini tak disikapi dengan bijaksana, alih-alih membawa manfaat, hal itu justru berpotensi melemahkan manusia dan kemanusiaannya.
Dalam kondisi itu manusia jadi rawan teralienasi dari lingkungan dan jati dirinya sendiri. Analoginya seperti anak yang tumbuh dengan dimanja, segala keinginannya selalu dipenuhi, kelak ia bukannya tumbuh menjadi pribadi yang tangguh tapi justru lemah dan tak percaya diri.
Untuk itulah pendidikan karakter semakin penting untuk digalakkan. Di tengah kepungan banjir teknologi dan informasi, manusia perlu meningkatkan kreativitas dan kemauan untuk terus berinovasi dalam berbagai bidang.
Iklim pendidikan pesantren penting untuk dikembangkan ke arah pembangunan karakter manusia yang tangguh, kreatif, inovatif dan adaptif terhadap perkembangan IPTEK, yang itu semua dibangun di atas pondasi spiritualitas yang mapan.
Gagasan itulah yang menjadi isu utama dalam International Conference bertajuk “Islamic Education in Global Context: Resilience and Transforming in a Time of Uncertainty” yang diselenggarakan Pascasarjana UNUJA, Minggu (12/3).
Sebanyak 20 pakar pendidikan Islam dari berbagai negara terlibat baik secara daring maupun luring untuk menjadi pembicara dalam konferensi itu. Prof. Muhammad Ali Ramdhani, Dirjen Pendidikan Islam Kemenag RI, menjadi salah satu pembicara utama dalam konferensi tersebut. Selain itu, kelima pembicara lain adalah K.H. Abd. Hamid Wahid, M.Ag., (Rektor UNUJA), Prof. Badruddin (UIN SGD Bandung), Prof. Khusnulridha (UIN KHAS Jember), Prof. Dato Jamil Hamali (UTM Malaysia), dan Dr. M. Hery Syarifuddin (Dubes RI untuk Kenya).
Selain konferensi utama, forum itu menyajikan tiga panel yang mengangkat isu berbeda dalam kajian pendidikan Islam.
Di Panel Conference 1, lima pakar pendidikan Islam memaparkan kajian dalam tema “Extended Learning in The Digital Society”. Mereka adalah Dr. Hasan Baharun (UNUJA), Chaula Rininta Anindya, Ph.D. (University of Japan), Prof. Mariono (UIN Sumatera Utara), Manisma Diny (Religious Practitioner, Madagaskar), dan Prof. Siti Patimah (UIN Raden Intan Lampung, Indonesia).
Panel Conference 2 memaparkan kajian dengan tema “Culture & Islamic Education: A Strategic Investment for Inclusive and Sustainable Development”. Di panel ini para pakar pemateri adalah Dr. Samlan Ahmad (IAIN Ternate, Indonesia), Bannaga Taha Al-Zubair Hussen (University of Khartoum, Sudan), Dr. Rojab Muhammad Idris Al-Hasani (Mesir), Dr. Akmal Mundiri (UNUJA, Indonesia), dan Dr. Captain Al-Hajj Muhammed bin Al-Hajj Abdullah, Ph.D. (Swiss Germain University).
Panel ketiga menyajikan kajian bertajuk “Artificial Intelligence and The Future of Education”. Di panel ini, para pakar utama adalah Prof. Ilyasin (UIN Sultan Muhammad Aji Samarinda, Indonesia), Prof. Candra Wijaya (UIN Sumatera Utara, Indonesia), Mohd Fauzi bin Hamad (University of Malaysia), dan Shubham Mukhopadhyae (India University).
Dr. Hasan Baharun, Direktur Pascasarjana UNUJA, menyatakan bahwa isu-isu sentral yang menjadi kajian dalam konferensi itu secara garis besar mengindikasikan perlunya dilakukan penguatan terhadap lembaga pendidikan Islam serta transformasi paradigma pendidikan Islam di tengah ketakpastian global saat ini.
“Paradigma pendidikan Islam kini perlu beradaptasi dan bertransformasi untuk menjawab tantangan era disrupsi ini. Bagaimana konsep pendidikan Islam dalam konteks global, bagaimana penggunaan teknologi digital dalam pembelajaran, hingga kehadiran Artificial Intelligence, semua itu perlu dihadapi secara bijak dan dewasa,” kata Baharun.
Rektor: Kreativitas dan Inovasi Insan Ulul Albab adalah Kunci Hadapi Disrupsi
Menanggapi isu revolusi industri dan fenomena disrupsi sebagai dampaknya, Rektor UNUJA, K.H. Abd. Hamid Wahid, M.Ag., menyampaikan bahwa iklim pendidikan pesantren penting untuk dikembangkan ke arah pembangunan karakter manusia yang tangguh, kreatif, inovatif dan adaptif terhadap perkembangan IPTEK, yang itu semua dibangun di atas pondasi spiritualitas yang mapan.
“Di era sekarang ini, banyak hal yang menjadi tantangan kita. Perkembangan social media, IoT (Internet of Things), dan AI (Artificial Intelligence) adalah beberapa hal yang mengubah wajah dunia kita saat ini. Pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya rutin, yang beberapa waktu lalu membutuhkan skill khusus manusia, kini sudah bisa digantikan oleh mesin. Inilah yang melatarbelakangi terjadinya strategic inflection point atau perubahan paradigmatik secara dramatis di berbagai lini kehidupan, mulai dari sektor bisnis, sosial-budaya, hingga pendidikan,” kata Rektor.
“Tapi ada banyak hal juga yang khas manusia, yang sejauh ini tidak dapat tergantikan oleh mesin. Subjektivitas, kreativitas, empati, fleksibilitas untuk beradaptasi dengan lingkungan, adalah hal-hal yang menjadi kekhasan manusia dan sulit digantikan oleh mesin dan AI. Untuk itulah pendidikan karakter semakin penting untuk digalakkan. Di tengah kepungan banjir teknologi dan informasi, manusia perlu meningkatkan kreativitas dan kemauan untuk terus berinovasi dalam berbagai bidang,” Rektor melanjutkan.
“Nah, iklim pendidikan pesantren penting untuk dikembangkan ke arah pembangunan karakter manusia yang tangguh, kreatif, inovatif dan adaptif terhadap perkembangan IPTEK, yang itu semua dibangun di atas pondasi spiritualitas yang mapan. Pendidikan, khususnya di pesantren, perlu digalakkan ke arah pembangunan karakter insan yang ulul albab, yakni yang memiliki kecerdasan, pengetahuan, pemahaman dan kebijaksanaan yang mendalam mengenai agama dan kehidupan,” pungkasnya.
(Humas UNUJA. Kontributor: Herman/Pasca)