UNUJA.AC.ID- Secara subtansial, Pemilihan Umum (Pemilu) bisa dimaknai sebagai aktualisasi nilai-nilai demokrasi. Dalam sistem demokrasi, Pemilu menjadi salah satu sarana untuk memilih wakil-wakil rakyat di Parlemen dan Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu juga bisa menjadi satu bentuk pengakuan terhadap kedaulatan rakyat dan hak-hak warga Negara dalam sistem politik yang demokratis. Sebab, rakyat tidak mungkin memerintah secara langsung, sehingga diperlukan cara untuk memilih wakil rakyat dan pemimpin dalam memerintah suatu negara selama jangka waktu tertentu.
Secara yuridis, Pemilu merupakan amanat konstitusi UUD 1945 hasil amandemen. Dalam pasal 22 UUD 1945 huruf E, ayat 2 bahwa “tujuan Pemilu adalah untuk memilih para wakil yang duduk dalam pemerintahan atau DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Pemilu juga bertujuan memilih Presiden/Wakil Presiden, dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah)”. Dalam konteks ini, Pemilu dimaksudkan sebagai sebuah proses transisi dalam memilih wakil rakyat dan Presiden beserta wakilnya. Sehingga pemilu bisa disebut sebagai ritual politik yang sangat sakral.
Namun belakangan, sakralitas pemilu tersebut telah mengalami desktruksi. Ini terjadi seiring maraknya penggunaan informasi palsu (hoax) dalam setiap momentum politik seperti pemilihan kepala Daerah (Pilkada), pemilihan anggota legislatif (Pileg) dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Hampir dipastikan dalam setiap momentum pemilu sejak Pilpres 2014 hoax selalu mewarnainya. Kontennyapun beragam, mulai dari issue Agama, etnis, antek asing, PKI, kriminalisasi ulama dan lain sebagainya. Issue-issue ini secara bergantian berseliweran di media sosial seperti facebook, group Whatsapp dan lain-lain.
Tentu ini menjadi preseden buruk bagi masa depan kualitas demokrasi dan politik kita. Mengapa demikian, sudah bisa dipastikan kedepan perpolitikan akan diisi dengan berita-berita palsu yang disebut hoax, dan dampaknya akan timbul perpecahan diantara sesame anak bangsa. Bahkan kalau kita mencermati media sosial, publik seperti terbelah dan mengalami sekat-sekat sosial dengan sebutan Kecebong (sebutan untuk pendukung 01) dan Kampret (sebutan pendukung Capres 02).
Hasrat Kekuasaan
Dalam Pasal 69 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada telah diatur dengan jelas bahwa larangan dalam kampanye seperti menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan dan atau kelompok masyarakat. Maraknya, hoax dalam dinamika politik dewasa ini, tampaknya para elit kita tidak siap kalah dalam berkompetisi secara politik. Hasrat kekuasaan yang sangat tinggi mengharuskan mereka menghalalkan segala cara untuk mewujudkan keinginannya. Hal ini juga diperparah dengan minimnya politik etis dalam diri para elit politik, sehingga persaingan politik diantara mereka jauh dari nilai-nilai politik etik sebagaimana dalam Pancasila.
Menurut Guru besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran, Bandung, Deddy Mulyana (Kompas.com,08/02/2017), bahwa faktor utama yang menyebabkan hoax mudah tersebar di Indonesia karena karakter asli masyarakat Indonesia tidak terbiasa berbeda pendapat atau berdemokrasi secara sehat. Hal ini juga didukung dengan kecenderungan masyarakat Indonesia tidak terbiasa mencatat dan menyimpan data sehingga sering berbicara tanpa data. Di sisi lain, ia menyebut masyarakat lebih senang membahas aspek-aspek yang berkaitan dengan kekerasan, sensualitas, drama, intrik dan misteri. Dan tampaknya, politik merupakan bidang yang memiliki aspek-aspek tersebut. sehingga tidak heran kalau hoax sering sekali terjadi pada tema politik. Khususnya saat terjadi perebutan kekuasaan yang menjatuhkan lawan politik seperti dalam pilkada, Pileg dan Pilpres.
Jika politik hoax ini terus dilestarikan dalam setiap pemilu, sudah pasti masa depan demokrasi kita sangat buram. Bagaimana tidak, hoax disamping memiliki nilai provokasi dan penghasutan publik, juga upaya pembodohan masyarakat. Karena masyarakat dipaksa untuk percaya pada informasi yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya. Efeknya, begitu luar biasa, karena berita hoax itu biasanya dishare secara berulang-ulang melalui media sosial sehingga publik mempercayainya sebagai sebuah kebenaran. Karena kesalahan yang disampaikan secara berulang-ulang akan diyakini sebagai sebuah kebenaran.
Berpolitik Dengan Gagasan
Melihat rumitnya penyebab lestarinya hoax dalam setiap pesta demokrasi dewasa ini, muncul pertanyaan mungkinkah pemilu tanpa hoax diwujudkan? Hemat saya, sangat mungkin hoax bisa dihilangkan manakala para elit politik memiliki kedewasaan dalam berpolitik dan mementingkan keutuhan bangsa. Karena berpolitik tidak hanya identik dengan kalah menang, tapi juga bagaimana menjaga stabilitas dan kondusifitas sosial. Karena keberhasilan politik tidak diukur dengan kekuasaan yang diraihnya, akan bisa dilihat dari stabilitas politik. Ini bisa dilakukan dengan pendidikan politik pada masyarakat, sehingga akan terbangun iklim demokrasi yang bermartabat.
Untuk mewujudkan iklim demokrasi yang bermartabat, penting para elit politik mengetengahkan gagasan dalam setiap event atau pesta demokrasi. Karena berpolitik dengan hoax hanya akan menjadi preseden buruk bagi masa depan demokrasi. Sudah bisa dipastikan dampak politik dengan hoax ini tidak hanya akan terjadi pada momentum politik, tapi juga akan menciptakan polarisasi masyarakat yang mengarah pada perpercahan. Oleh karena itu, para elit politik kita penting mengedepankan kedewasaan dalam politik, sehingga bangsa Indonesia tetap utuh. Sebab, yang lebih penting dari jabatan politik, adalah kokohnya persatuan bangsa Indonesia dalam bingkai NKRI.
Kemudian juga, berpolitik dengan gagasan harus menjadi paradigma dalam berpolitik. Karena, meminjam istilah Nur Kholis Majid bahwa berpolitik dengan gagasan berarti berpolitik dengan “tindakan”. Yakni ikhtiar untuk mewujudkan gagasan-gagasan kebangsaan dalam membangun bangsa dan bagaimana berkontribusi terhadap kemajuan Indonesia secara umum. Sehingga politik perlu dipandang sebagai sarana pengabdian yang paling efektif dalam mewujudkan gagasan politik membangun sistem pembangunan yang baik. Sehingga dengan seperti itu, maka politik hoax tidak akan lagi terjadi jika para elit politik kita memiliki kesadaran politik gagasan sebagaimana disebut. Wallahu A’lam.
Mushafi Miftah
Ketua Program Studi Ilmu Hukum Universitas Nurul Jadid dan Direktur BEDUG Institute
*Tulisan juga dimuat di: Kolom Times Indonesia (https://m.timesindonesia.co.id/read/205032/20190314/004044/pemilu-tanpa-hoaks-mungkinkah/) 14 Maret 2019