AR EN ID

Literasi

WIB. Diakses: 648x. Literasi

Ahmad Sahidah, semantikus Universitas Nurul Jadid

Ketika di awal-awal berkhidmat di pondok, saya menaruh perhatian pada literasi. Di sela waktu mengajar sebulan sekali di program pascasarjana Institut Agama Islam Nurul Jadid (Sekarang Universitas Nurul Jadid), di malam hari saya mengunjungi markas Alfikr, majalah mahasiswa, untuk berbagi dan sekaligus belajar pada pegiat pers tersebut. Mereka adalah kaum terpelajar yang memiliki daya pikir kritis dan menjadikan media sebagai sarana menyemai gagasan perubahan sosial keagamaan melalui laporan utama, kolom pakar, dan wawancara tokoh.

Saya juga turut serta menyumbang tulisan untuk Hasiyah, jurnal pemikiran KKPS (Kelompok Kajian Pojok Surau), yang juga selalu mengetengahkan topik aktual dan penting. Di sini, saya mengirim dua artikel, yakni pemikiran Jürgen Habermas dan Henry Giroux. Tentu, pengalaman yang sangat mengujakan adalah kehadiran saya pada kelas karantina KKPS di gedung MWC Nahdlatul Ulama Kecamatan Pakuniran. Selama hampir empat jam, saya duduk mendengar para mahasiswa menekuri buku-buku filsafat Barat.

Dari pengalaman di atas, sejatinya literasi dalam pengertian membaca dan menulis telah terbina lama dan kokoh di pondok pesantren. Para lulusannya telah berhasil mengisi posisi di pelbagai media cetak dan eletronik, baik nasional atau daerah. Salah satu santri yang memiliki reputasi di dunia nasional adalah M Faizi, yang telah melahirkan banyak karya dalam bentuk puisi dan esai. Buku Merusak Bumi dari Meja Makan telah menarik perhatian khalayak. Pihak penerbit, Cantrik Pustaka, bahkan telah mencetak ulang anggitan penyair dari Pulau Garam tersebut.

Lebih jauh, sejatinya literasi tidak hanya terkait dengan dunia kepenulisan dan kebacaan. Dalam “Apprenticeship in Literacy” Jurnal Interchange (No. 18, 1987, 109-123) Gordon Wells mengurai literasi sebagai keterampilan yang perlu dilatih dan ditekuni oleh seseorang agar dia bisa menjadi individu yang literat. Secara taksonomi, literasi bisa dibagi ke dalam 4 (empat) tingkatan, yakni performatif, fungsional, informasional, dan sistemik.

Pertama, level performatif adalah kemampuan seseorang dalam mengucapkan kode-kode bahasa atau menuliskan tanda-tanda itu ke dalam tulisan. Dengan kata lain, level ini serupa dengan istilah yang kita  sering sebut melek aksara. Orang yang tidak memiliki kemampuan literasi di level ini biasanya kita cap dengan buta aksara. Bisa dikatakan, hampir setiap santri bisa mengenal kode-kode bahasa Latin dan Arab dengan baik.

Kedua, level fungsional adalah kemampuan seseorang dalam mengoperasikan bahasa dalam kondisi tertentu. Terkait soal membaca dan menulis, orang yang berkemampuan literasi fungsional memiliki kemampuan membaca koran, bisa menulis surat elektronik secara sopan, dapat mengikuti perintah bertulis tentang cara menggunakan komputer, sanggup menyelesaikan formulir resmi tertentu, membuat pengumuman dan menyampaikan pesan. Secara umum, setiap santri telah melakukan tugas ini dengan baik.

Ketiga, level informasional dalah kemampuan individu menyerap pengetahuan teks tertentu atau menyampaikannya melalui ucapan atau tulisan. Kata pengetahuan (knowledge) perlu ditegaskan di sini, sebab ia berbeda jauh dengan sekadar ‘nformasi (information) atau pendapat (opinion). Pengetahuan yang dimaksud di sini adalah pengetahuan berbasis disiplin ilmu tertentu. Literasi di level ini berarti kemampuan seseorang untuk mempelajari suatu ilmu pengetahuan melalui teks, baik melalui bacaan maupun tulisan. Di tingkat universitas, mahasantri telah menghasilkan banyak karya berupa buku, skripsi, dan tesis yang menunjukkan kemampuan mereka mengolah data dan informasi menjadi tubuh pengetahuan.

Keempat, level epistemik adalah kompetensi literasi yang melampaui sekadar mode komunikasi, sebagaimana dalam ketiga level sebelumnya. Dengan literasi epistemik, seseorang mampu menemukan kaidah-kaidah dan kiat-kiat mengubah dirinya dan mengubah masyarakat di mana dia hidup. Singkat kata, levil ini adalah gabungan antara mode komunikasi dan cara berpikir. Sikap yang didorong oleh keterampilan ini adalah kreativitas, eksplorasi, dan evaluasi kritis. Apa yang dilakukan Gus Muhammad Fayyadl merupakan wujud dari keterampilan ini, yakni melakukan advokasi masyarakat.

Dengan demikian, kita perlu mendorong pelajar untuk mencapai jenjang tertinggi, yakni sistemik. Artinya, bacaan-bacaan yang dicerna dan tulisan-tulisan yang dihasilkan mengandaikan sebuah tindakan untuk menemukan jati diri dan dari sini yang bersangkutan menunjukkan sikap dan prilaku yang mantap dan andal untuk mengubah karakter dan menjadi pelaku perubahan di dalam masyarakatnya. Ini sejalan dengan nasehat pendiri pondok pesantren Nurul Jadid, Kiai Haji Zaini Mun’im bahwa beliau tidak rela bila santrinya tidak berkhidmat pada masyarakat.

KANTOR

Universitas Nurul Jadid (UNUJA)
Karanganyar, Paiton, Probolinggo,
Jawa Timur, Indonesia
Kode Pos: 67291

Lihat Di Peta
Telp 0888 30 77077
Fax 0888 30 77077
unuja@unuja.ac.id

KERJA SAMA

Nasional
Internasional

2024 © PDSI Universitas Nurul Jadid | Sitemap