Saya tertarik dengan gagasan Carl Menger dalam The Principles of Economics (2007: 77) bahwa needs arise from our drives and the drives are imbedded in our our nature. An imperfect satisfaction of need the stunting of our nature. Failure to satisfy them brings about our destruction. But to satisfy our needs is to live and prosper. Thus the attempt to provide for the satisfaction of our needs is synonymous with the attempt to provide for our lives and well-being. It is the most important of all human endeavors, since it is the prerequisite and foundation of all others.
Jadi, apa yang menggerakkan kita adalah usaha untuk memenuhi kebutuhan. Kenyataannya, kebutuhan kita telah ditetapkan oleh lingkungan tempat kita tinggal. Setidaknya, dengan mengacu pada ide Herbert Marcuse, kebutuhan otentik itu berupa makanan, tempat tinggal, dan pakaian. Dari sini, kebutuhan lain-lain adalah keperluan yang diciptakan oleh sebuah institusi dengan motif keuntungan dan identitas.
Untuk menggapai kebutuhan asli pun, kini banyak orang berjuang keras karena peluang pekerjaan semakin terbatas dan perolehan pendapatan juga semakin rendah, karena teknologi telah merampas kesempatan untuk bekerja dan hanya segelintir orang yang bisa menumpuk keuntungan dengan mudah. Kapitalisme yang hakikatnya memberikan persaingan bebas, tetapi pada waktu yang sama pemodal bisa menjadi pemangsa bagi pesaing yang lain. Selebihnya, pekerja kasar yang akan menjadi penyangga bagi mesin kekayaan pemodal.
Tetapi, adalah kebutuhan yang mendorong kita untuk melakukan sesuatu mesti ditentukan oleh orang lain atau kuasa yang kita kadang menerimanya setengah hati? Itulah mengapa pendidikan harus menimbang kebutuhan orang yang belajar di dalamnya. Santri sebagai insan yang sedang menjalani masa perkembangan tentu perlu diajar bagaimana mereka bisa menemukan minat dan bakatnya. Namun, mereka juga harus menyadari bahwa pilihan untuk bersekolah di pondok sekaligus mengokohkan jati diri dengan berdasar pada budi pekerti (akhlaqul karimah) dan mengaji (kitab, yang meliputi agama dan umum).
Secara umum, pendidikan dari segi filsafat hendak menanamkan karakter dan keterampilan. Dengan demikian, seluruh kegiatan di pondok berlandaskan pada kaidah pembelajaran yang menyesuaikan dengan penerimaan santri terhadap model penyampaian, apakah pendengaran (audio), penglihatan (visual) dan pergerakan (kinestetik). Hal ini bisa dilakukan dengan asesmen yang dilakukan oleh pakar kejiwaan untuk selanjutnya mereka merekomendasikan bagaimana suasana pembelajaran mengakomodasi kecenderungan santri.
Selain itu, ikhtiar untuk menjaga motivasi perlu diiringi dengan pemberlakuan teori ABC (Antecedence, Behavior, Consequence). Sebuah prilaku harus didahulu oleh prasyarat dan sarana. Jika hal pertama belum berjalan secara efektif, ganjaran perlu diterapkan dengan bersandar pada hukuman yang bersifat mendidik, bukan kekerasan. Kesadaran tidak muncul dari tindakan fisik. Disiplin yang diharapkan dari santri harus didahului dengan pemenuhan sarana, semisal akses pada Wifi, apabila pendidikan kita hendak menerima pembelajaran daring.
Di tengah ikhtiar untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman, tradisi pengajian yang mendorong santri untuk memiliki kepekaan pada linguistik adalah sangat baik dan tepat untuk proses mendapatkan pemahaman. Kenyataan dan pengetahuan berumah dalam bahasa. Kitab-kitab dari pelbagai disiplin bermula dari pengertian etimologi (lughah) dan epistemologi (ishthlah). Agar motivasi belajar juga terawat, pada masa yang akan datang kitab-kitab yang disampaikan juga menyertakan kitab kuning sains, medis, dan teknik.
Motivasi santri Fakultas Kesehatan makin terdorong apabila mereka mengaji kitab al-Thib Ibn Sina. Demikian pula, mahasiswi sosial humaniora menerima pengajian Al-Muqaddimah Ibn Khaldun. Malah, pengajaran fikih tidak hanya berhenti pada Fathul Qarib, tetapi juga Falsafah al-Fiqh oleh Mushthafawi, sehingga pengajaran tentang aturan keseharian muslim tidak berhenti pada catatan normatif, tetapi juga filosofis. Tentu, kitab yang terakhir ini hanya disampaikan pada santri yang telah belajar di perguruan tinggi.
Jadi, pemangku kepentinganlah yang akan menciptakan kebutuhan yang bisa mendorong santri untuk menekuni pilihan yang telah ditetapkan melalui asesmen. Namun demikian, karena pendidikan mengajar mereka untuk berpikir, maka mereka mungkin bisa menemukan apa yang dicari dalam perjalanannya selama berada di pondok. Jika mereka sendiri yang menggerakkan pikiran dan perasaannya, maka pendidikan telah berhasil memberikan jalan yang mereka harus tempuh. Dengan menemukan dirinya, ia mengenal Tuhannya. Inilah motivasi tertinggi seorang santri.